Cerita Mahoni soal Sumpah Pemuda
Memang, perihal
mempertahankan bukanlah mudah. Apalagi mempertahankan sebuah jiwa, karakter,
jati diri yang notabenenya pasti berubah dimakan waktu. Semua itu hanya soal
kemana kita akan berubah. Baikkah? Burukkah?
Namun sebuah pohon mahoni bertajuk
lebat mengerti keburukan bukanlah hal yang diharapkan pemuda pemuda yang
menanamnya tepat seratus tahun yang lalu. Kulit luarnya yang berwarna cokelat
kehitaman, beralur dangkal seperti sisik kini telah berubah menjadi cokelat
tua, beralur, dan mengelupas seiring berjalannya waktu. Ia masih ingat
bagaimana dulu, seorang pemuda tersenyum membelai daunnya lembut, mengharapkan
pertumbuhannya dapat membantu kemajuan negara pemuda itu.
Mahoni tak tahu siapa nama
pemuda yang menanamnya, seandainya berbicara bahasa tumbuhan dan manusia sama,
pasti sudah ia tanyakan dari kali pertama bertemu. Ia ingin sekedar berucap
terimakasih atau sekedar tersenyum pada pemuda tersebut. Namun sayang hal
seperti itu mustahil adanya.
“Hai Mahoni,” Mahoni melirik
burung merpati yang bertengger di salah satu dahannya dan membalasnya dengan
senyum. “Nampaknya kau sudah beralur dan cukup umur. Berapa umurmu?” Tanyanya
penasaran memutari pohon dengan bantuan sayapnya dan merasa pohn ini jelas
sudah jauh lebih tua daripadanya.
“Tahun ini tepat seratus
tahun.” Jawab Mahoni mengingat kehidupannya selama seratus tahun ini. Daunnya
memang meranggas lalu berjatuhan setiap waktu, namun ingatannya masih segar
seakan baru kemarin ia mengalami semuanya. Tahun 1917 mungkin cukup penting
untuk dunia dengan adanya Revolusi Bolshevik di Rusia. Tapi tahun itu benar
benar penting untuknya.
“Seratus?” Tanya burung
merpati takjub lalu kembali bertengger di salah satu dahan pohon mahoni. “Pasti
banyak perubahan ya?”
Mahoni diam, lalu tertawa
pelan namun suaranya cuku besar dan bulat membuat burung merpati mampu
mendengarnya dengan jelas. seratus tahun yang lalu, entah bagaimana Mahoni
sudah dapat menyaksikan pemuda berpakaian surjan
lurik coklat dengan blangkon di kepalanya tersenyum padanya dan memberi asupan
untuk dirinya.
“Kamu tahu merpati? Ketika
seorang pemuda membuat tuhan dapat meniupkan ruh pada tubuhku ini, aku tahu
dari senyumannya bahwa pemuda itu merupakan salah satu tongkat merdeka
Indonesia.” Ucap Mahoni berusaha membayang bayangkan pemuda yang berkisaran tujuh
belas tahun denga logat jawa halusnya yang berbicara lembut padanya.
“Apakah dia berhasil?” Tannya
Merpati mampu melempar Mahoni pada kenangan kenangan indah ketika ia masih
kecil dulu.
“Ya, sebelas tahun kemudian
ketika kongres sumpah pemuda dilaksanakan di Batavia, menurutku dia orang
paling girang ketika hal itu terjadi. Seakan semesta sudah memberitahunya bahwa
bangsa kita ini adalah bangsa yang besar dan kelak akan bersatu mengusung
kepentingan bersama.” Ujar Mahoni bangga.
Merpati kembali terbang
mengelilingi Mahoni berdecak kagum. Siapa sangka percakapannya hari ini cukup
membawa pengalaman untuknya. “Apakah dia ikut kongres itu?”
“Sayangnya tidak.” Jawab
Mahoni namun Merpati masih bisa merasakan nada bangga dalam kata kata yang
keluar dari mulut Mahoni.
“Menurutku saat itu dia
terlalu muda untuk menghadiri rapat penting untuk bangsa kita. Namun
ketidakhadiran seorang pemuda bukan berarti dia bukanlah salah satu partisipan
peristiwa tersebut. Bahkan mereka yang saat ini masih bernafas saja bisa
menjadi partisipan kongres tersebut.” Jelas Mahoni panjang membuat Merpati
mengangguk angguk mengerti.
Merpati bertengger diam
meratapi daun daun Mahoni yang bergerak ringa ditiup angin. Sedangkan Mahoni
nampak menikmati angina yang meniupnya lembut sambil mengenang kenangan masa
lalunya. Pemuda itu, Mahoni yakin merupakan kaum terpelajar walau mungkin bukan
seorang bangsawan. Mahoni percaya jiwanya itu ikut menyerap pada diri Mahoni
walau sudah seratus tahun berlalu.
“Mahoni,” Panggil Merpati
menyadarkan Mahon dari ingatan masa lalunya. “Apa yang kau ingat ketika aku
membuatmu mengenang masa lalumu?” Tanya Merpati mengerrti Mahoni pasti sudah
terbang ke salah satu kisah masa lalunya.
“Seratus tahun tentu bukanlah
tahun yang singkat bagiku untuk mengalami begitu banyak peristiwa. Aku sudah
pernah melihat para kolonial memegang senjata laras panjang mereka menaiki
mobil paa zaman itu seakan mengancam semua orang yang dilewatinya. Aku sudah
pernah melihat kejamnya sesam ras mongoloid yang menodong senjata mereka para
rakyat rakyat kecil. Aku sudah mendengar sorak sorai masyarakat ketika sang
saka dikibarkan dengan perkasa. Aku tahu tangis pilu akibat kebengisan sebuah
idiologi penentang pancasila. Aku menyaksikan bagaimana kemudian bangsa ini
mulai merangkak pada sebuah kebaikan. Aku juga ikut memahami kekecewaan
masyarakat pada saat itu akan pemerintah yang otoriter dann melakukan KKN
dimana mana. Aku melihat bagaimana sebuah hukuman memiliki label harga
sendiri.” Tuturnya tenang.
Mahoni memang sebuah pohon
tua yang mungkin bisa dibilang tidak ikut berkontribusi atas besarnya sebuah
bangsa walau ia berusaha. Namun Mahoni juga merasakan ketika orang orang duduk
dibawah naungan daunnya bercerita kepada teman mereka tentang perih menegakkan
sebuah bangsa menjadi merdeka secara tidak harfiah.
“Mana yang paling penting
buatmu?” Tanya Merpati karena dirinya sendiri juga tidak bisa membayangkan, apa
bila semua hal itu terjadi padanya ia pasti tidak mampu memilih peristiwa
peristiwa itu.
“Ketika tuhan meniupkan ruh
pada diriku lewat seorang pemuda Merpati.” Jawab Mahoni membuat Merpati diam,
diantara sekian banyak peristiwa penting yang disaksikan Mahoni ia memilih
peristiwanya bersama pemuda itu.
“Kenapa?”
“Ketika itu aku hanya tanaman
kecil yang bahkan tidak pernah berani bermimpi akan tumbuh sebesar ini. Namun,
pemuda yang tiak pernah berasil kuketahui namanya itu menyalurkan jiwa
pemimpinya lewat matanya yang teduh. Apakah kamu tahu Merpati apa kata pemuda
itu padaku?” Merpati menggeleng sebagai jawaban. Sudah jelas ia tidak mungkin
tahu mengena hal yang diucapkan pemuda itu tapi ia rasa ia perlu untuk sekedar
menggeleng.
“Nalika gedhe, muga-muga sampeyan bisa mbantu bangsa iki kanthi rwaning
lan ambeganmu.
Aku pracaya Gusti Allah bakal menehi kekuatan kanggo
mbantu bangsa iki. Pemuda itu mempercayaiku
membantu bangsa ini tumbuh dengan daun dan nafasku. Merpati, kau tahu percaya
pada seseorang bukanlah permintaan yang mudah, tapi dia mempercayai sebuah
pohon yang bahkan bisa sewaktu waktu terambil nyawanya tanpa meakukan sebuah
perlawanan. Bagaimana dia bisa menanamkan kepercayaa sebesar itu padaku?”
Mahoni mengingat bagaimana pemuda itu tersenyum dan berpesan dengan bahasa Jawa
padanya.
“Apa arti semua itu?” Tanya
Merpati masih tidak mengerti maksud dari kepercayaan yang ditanam seorang
pemuda pada sosok tua dihadapannya.
“Merpati, dia percaya bangsa
ini merupakan bangsa emas, dari segi pandang manapun. Ia mempercayaiku untuk
membantu setidaknya menghasilkan oksigen dalam proses menjadi keemasan itu.
Mungkin aku pernah melihat bagaimana manusia menjadi bengis dan licik akan
kemauannya, tapi dia mengajarkanku bahwa masih ada pemuda pemudi yang mampu
membangun bangsa ini. Biar kini semua punya label harga, kelak ikrar sumpah
pemuda yang bahkan pernah pemuda itu bacakan pada sebuah pohon menjadi salah
satu landasan yang utama. Bahwa biar bagaimanapun, pemuda Indonesia kelak akan
membangkitkan zaman keemasan kita yang telah terkubur.”
Merpati terseyum tipis
menatap Mahoni yang kian melapuk dimakan usianya. Kemudian sayapnya mengepak
membawanya terbang menyebarkan sebuah cerita yang tak akan ia biarkan terkubur.
Bahwa, para pendahulu telah berharap besar pada bangsa ini. Biarlah Mahoni
hanya pohon tua yang tak mampu berbicara, ia tetap berusaha berkontribusi pada
kemajuan bangsa ini. Dan ituah yang diharapkan sang pemua pada pemuda saat ini.
Komentar
Posting Komentar